Bakteri Sebagai Agen Hayati
Peningkatan permintaan konsumen
terhadap kualitas pangan yang tinggi, segar, bergizi, dan mudah disiapkan
menyebabkan peningkatan produksi pangan olah minimal (Durand, 1990). Apel
merupakan produk olah minimal yang umum dijumpai di swalayanswalayan di
Indonesia. Potongan buah olah minimal merupakan bahan pangan yang dapat busuk
dengan cepat dikarenakan mikroorganisme (Nguyen-the dan Carlin, 1994). Salah
satu mikroorganisme yang berpengaruh terhadap kerusakan pangan olah minimal
adalah Staphylococcus aureus, yang merupakan bakteri penyebab keracunan yang
memproduksi enterotoksin. S. aureus merupakan patogen indikator sanitasi tangan
pekerja, sehingga penting untuk mengetahui keamanan mikrobiologis dari buah
olah minimal.
Beberapa upaya menurunkan
kontaminasi awal pada buah olah minimal adalah dengan menggunakan sanitiser
seperti klorin (Nguyen-the dan Carlin, 1994). Namun, penggunaan klorin dalam
pangan ataupun perlakuan air maíz dipertanyakan, karena beberapa componen
pangan dapat bereaksi dengan klorin membentuk senyawa toksik yang potensial
(Richardson, 1994).
Dalam industri pangan, bakteri asam
laktat telah digunakan secara luas sebagai agen biokontrol untuk meningkatkan
keamanan pangan olah minimal yang direfrigerasi tanpa penambahan asam. Peranan
bakteri asam laktat adalah untuk memperbaiki cita rasa, tetapi bakteri asam
laktat ini ternyata juga memiliki efek pengawetan pada produk fermentasi yang
dihasilkan. Bakteri asam laktat dapat memproduksi dan melakukan sekresi berupa
senyawa penghambat selain asam laktat dan asam asetat, seperti hidrogen
peroksida, bakteriosin, antibiotik, dan reuterin yang kurang dikenal atau belum
terungkap kemampuannya sebagai senyawa penghambat.
Beberapa penelitian yang telah
dilakukan untuk mengetahui sifat penghambatan dan pengawetan bakteri asam
laktat (BAL) seperti efek penghambatan BAL pada mikroflora yang terdapat dalam
sayur siap olah (Vescovo, et al., 1995), dan penggunaan BAL untuk meningkatkan
keamanan buah dan sayuran olah minimal (Breidt dan Fleming, 1995).
I. DEFENISI AGENS HAYATI
pemanfaatan agens hayati untuk
mengendalikan patogen masih populer dan memberikan harapan, baik di dalam
negeri maupun manca negara. Di antara kelompok agens hayati, Pseudomonas
fluorescens dan Trichoderma spp. menempati urutan teratas; paling banyak
digunakan atau diteliti.
Pengertian agens hayati menurut FAO
(1988) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri,
cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically
modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT). Pengertian ini hanya mencakup mikroorganisme,
padahal agens hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme
yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator
atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agens
hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO (1997), yaitu organisme
yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, artropoda
pemakan tumbuhan, dan patogen.
Lebih jauh, jika diperhatikan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens
hayati maka maknanya menjadi lebih sempurna lagi, yaitu setiap organisme yang
meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda,
protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya
dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan
pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi,
pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian
RI 1995).
Definisi terakhir mempunyai
pengertian bahwa agens hayati tidak hanya digunakan untuk mengendalikan OPT,
tetapi juga mencakup pengertian penggunaannya untuk mengendalikan jasad
pengganggu pada proses produksi dan pengolahan hasil pertanian.
II. TAHAPAN PENGEMBANGAN AGENS
HAYATI
Faktor awal yang sangat menentukan
keberhasilan pengembangan agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman
adalah ketepatan dalam pemilihan jenis dan sumber agens hayati yang akan
dikembangkan. Pada umumnya jenis agens hayati yang dikembangkan adalah mikroba
alami, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, air dan bahan organik,
maupun yang hidup di dalam jaringan tanaman (endofit) yang bersifat menghambat
pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran,
atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman.
Tahap pertama dalam pengembangan
agens hayati: seleksi agens hayati nonpatogen, Seleksi dilakukan dengan
mengisolasi calon agens hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba
saprofit atau nonpatogen dari tanah atau bagian tanaman, atau mutan yang tidak
patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan
identitas calon agens hayati perlu dikuasai dengan baik agar pengembangannya di
masa akan datang tidak menjadi masalah. Untuk pengendalian penyakit layu
bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, misalnya, jenis-jenis
agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh
Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B.
subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas
aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan Actinomycetes. Di antara
spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium)
flaccumfaciens pv. flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi
patogen pada tanaman (Lelliott dan Stead 1987).
Jenis bakteri lainnya adalah bakteri
nonpatogenik dari spesies yang sama, seperti mutan alami yang tidak virulen
(avirulen) dari R. solanacearum atau mutan R. solanacearum yang mengandung gen
hrpO. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mutan yang mengandung
penciri tahan terhadap antibiotik adalah sebaiknya tidak menggunakan antibiotik
yang lazim digunakan untuk pengobatan pada manusia (The National Forest and
Nature Agency 2000).
Hal ini karena karakter ketahanan
terhadap suatu antibiotik dibawa dalam plasmid yang mudah berpindah dari satu
bakteri ke bakteri lainnya dalam kondisi alami. Besar kemungkinan karakter
ketahanan terhadap antibiotik yang dibawa oleh suatu mutan agens hayati bakteri
akan terlepas dan berpindah ke bakteri patogen pada manusia atau hewan sehingga
pengendalian menggunakan antibiotik tersebut tidak akan efektif. Dalam tahap
awal ini juga perlu dihindari penggunaan agens hayati bakteri yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Satu di antaranya adalah
Burkholderia (Pseudomonas) cepacia. B. cepacia dapat ditemukan secara alami di
dalam tanah, air, dan rizosfer akar tanaman. Perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa B. cepacia terdiri atas sekelompok bakteri (Burkholderia kompleks) yang
meliputi delapan genetik spesies (genomovar) yang sangat erat kekerabatannya
satu sama lainnya (Parke dan Gurian-Sherman 2001).
Di antara kelompok itu ada yang
digunakan sebagai agens hayati, tetapi ada juga yang bersifat patogen pada
tanaman dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia. B.
cepacia menyebabkan penyakit busuk lunak pada umbi bawang (Lelliott dan Stead
1987) dan hawar daun pada tanaman garut hias (Marantha arundinaceae) (Supriadi
et al. 2000).
Potensi B. cepacia dalam menyebabkan
kerugian pada manusia telah dibahas oleh suatu Panel Ahli (Scientific Advisory
Panel; SAP) pada tanggal 20−23 Juli 1999 di Arlington Virginia (USA) (SAP
Report1999). Secara ringkas, beberapa ahli kurang mendapatkan bukti yang cukup
tentang kekhawatiran pelepasan strain B. cepacia yang dapat mempengaruhi strain
B. cepacia lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada manusia. Namun,
potensi bahaya B. cepacia terhadap manusia tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Gejala gangguan akibat B. cepacia yang dikenal dengan istilah Burkholderia
Cepacia Syndrome (BCS) perlu diwaspadai (Anomimous http://www3.nbnet.
nb.ca/normap/bcepacia.htm). BCS ditandai dengan gejala penurunan kesehatan
secara drastis pada seseorang yang terinfeksi bakteri ini karena bakteri dapat
masuk ke dalam sistem pembuluh darah. B. cepacia dapat bertahan pada kulit yang
lembap selama 60 menit sampai 1 minggu, sedangkan di dalam air, bakteri ini
dapat bertahan hidup sampai 1 tahun, dan 82% dari strain B. cepacia kebal
terhadap antibiotik. B. cepacia kompleks genomovar VI, yaitu B. dolosa
diketahui dapat menyebabkan infeksi kronis dalam cystic fibrosis yang
berasosiasi dengan kehilangan fungsi paru-paru dan ketahanan tubuh (Kalish et
al. 2006). Menurut Blackburn et al. (2004), cepacia syndrome juga dapat
disebabkan oleh B. multivorans (genomovar III), yang menunjukkan gejala cystic
fibriosis pada 9 tahun setelah infeksi. Informasi tersebut menekankan perlunya
kehati-hatian dalam pemilihan jenis agens hayati yang akan dikembangkan.
Tahap berikutnya adalah menguji
keefektifan agens hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam
cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Bila suatu agens hayati
menunjukkan potensi antagonisme atau penekanan terhadap patogen target, yang
ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian
secara terbatas dalam kondisi terkontrol misalnya di rumah kaca dengan
menggunakan formula sederhana, seperti penambahan zat pembawa (karier).
Apabila pada tahap ini kemampuan
agens hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka
perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian
lapang, kemungkinan agens hayati menimbulkan kerusakan pada tanaman perlu
diperhatikan. Pada pengujian lapang, biasanya agens hayati harus diformulasikan
secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan
harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada tanaman target, mikroba
bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun calon agens
hayati masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil maka pengujian dalam
skala lebih luas dapat dilaksanakan. Tahap terakhir adalah komersialisasi agens
hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak agens
hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan
terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu
agens hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya secara
komersial dari institusi resmi.
III. ANALISIS RISIKO
Beberapa agens hayati berpeluang
dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atau tanaman) atau
mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada
manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut
perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan
suatu agens hayati. Dalam pedoman yang disusun oleh FAO (1988, 1997) tentang
agens hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan
informasi sebagai berikut:
- Kejelasan identitas dari bahan aktif, yang mencakup:
- Karakteristik agens hayati, meliputi informasi tentang a)
sifat fisik dan kimia, b) nama umum, nama ilmiah (nama Latin) dan tipe strain
dari bakteri, protozoa, jamur, dan sebagainya, c) habitat alami, d) proses
produksi atau perbanyakan, e) caracara untuk mengidentifikasi, seperti sifat
morfologi, biokimia, dan serologi, f) komposisi bahan pembawa dalam proses
produksi agens hayati, dan g) metode analisis. - Kriteria produk (formula),
terdiri atas a) sifat fisik dan kimia, b) jumlah atau populasi agens hayati
dalam setiap unit tertentu, c) nama dan tipe formula seperti AT, EC, dan SC, d)
bahan pembawa seperti pelarut, bahan pelindung terhadap sinar UV, bahan perata,
dan sebagainya, e) stabilitas produk dalam kondisi penyimpanan tertentu (suhu
dan kelembapan selama penyimpanan), dan f) metode analisis.
- Karakteristik biologi, mencakup data tentang a) asal-usul dan metode penyebaran agens hayati pada kondisi cuaca berbeda, b) spesifisitas target sasaran OPT (spesifik atau luas), c) dosis efektif, transmissibility, dan mode of action, d) kekerabatan dengan OPT sasaran, e) jenis tanaman target, dan f) cara aplikasi.
- Data toksisitas, baik terhadap manusia maupun mamalia lain, yaitu: a) toksisitas akut oral, b) toksisitas akut dermal, c) toksisitas akut pernafasan, d) iritasi pada mata, dan e) alergi. Data toksisitas akut dermal dan iritasinya pada mata dilakukan khusus terhadap bahan pembawa atau bahan yang digunakan selama proses produksi. Kriteria tambahan yang diperlukan antara lain adalah toksisitas subkronis (persistensi), pengaruh terhadap reproduksi, penurunan kekebalan (untuk virus), dan infektivitas terhadap primata (untuk parasit intraseluler).
- Data residu dan pengaruh terhadap lingkungan. Untuk agens hayati yang mekanisme kerja aktifnya dengan cara menghasilkan toksin, evaluasi terhadap residu toksin dalam bagian tanaman yang dimakan perlu dikemukakan. Potensi kerusakan terhadap lingkungan, seperti toksisitas terhadap ikan, organisme nontarget, tanaman nontarget, dan toksisitas terhadap burung, perlu dikemukakan secara jelas.
IV. KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK
BEBERAPA AGENS HAYATI BAKTERI
Beberapa contoh karakteristik
penting dari bakteri yang sering digunakan sebagai agens hayati, seperti P.
fluorescens dan B. subtilis diuraikan berikut ini. P. fluorescens termasuk ke
dalam bakteri yang dapat ditemukan di mana saja (ubiquitous); sering kali
ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk,
tanah dan air (Bradbury 1986), sisa-sisa makanan yang membusuk, serta kotoran
hewan. Ciri yang mencolok dan mudah dilihat dari P. fluorescens adalah
kemampuannya menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada medium King’B
sehingga terlihat berpijar bila terkena sinar UV (Tabe1 2). P. fluorescens
telah dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk beberapa jamur dan bakteri
patogen tanaman. Kemampuan P. fluorescens menekan populasi patogen
diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah
dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti
antijamur dan antibiotik, serta kompetisi
dalam penyerapan kation Fe. Di
samping itu, P. fluorescens F113 juga digunakan untuk menghancurkan
senyawa-senyawa beracun seperti polychlorinated biphenyls yang sangat beracun
dan persisten (The National Forest and Nature Agency 2000). B. subtilis
diketahui secara luas sebagai bakteri saprofit, tidak menyebabkan penyakit pada
tanaman, dapat hidup dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen), bersifat Gram
positif, dan membentuk spora (Bradbury 1986), serta menghasilkan beberapa jenis
senyawa antimikroba seperti basitrasin, basilin, basilomisin B, difisidin,
oksidifisidin, lesitinase, dan subtilisin (EPA 1997). Karakteristik morfologi
dan biokimia B. subtilis disajikan pada Tabel 3. Informasi penting tentang
karakteristik morfologi dan biokimia B. cepacia ditemukan oleh Bradbury (1986)
dan Hildebrand et al. (1988) (Tabel 4). B. cepacia juga memiliki kekerabatan
secara serologi dengan R. solanacearum (Robinson et al. 1995; Supriadi et al.
2000).
V. BAKTERI SEBAGAI AGEN PENGHASIL
SIDEROFOR
Siderofor adalah senyawa organik
selain antibiotik yang dapat berperan dalam pengendalian hayati penyakit
tumbuhan. Siderofor diproduksi secara ekstrasel, senyawa dengan berat molekul
rendah dengan affinitas yang sangat kuat terhadap besi (III). Kemampuan
siderofor mengikat besi (III) merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain,
banyak bukti-bukti yang menyatakan bahwa siderofor berperan aktif dalam menekan
pertumbuhan mikroorganisme patogen (Fravel 1988).
Selain peranannya sebagai agen
pengangkutan besi (III), siderofor juga aktif sebagai faktor pertumbuhan, dan
beberapa diantaranya berpotensi sebagai antibiotik (Neilands 1981). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa siderofor berpendarfluor kuning-kehijauan yang
dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor disebut sebagai pseudobactin bermanfaat
untuk pertumbuhan tanaman (Neilands & Leong 1986; Leong 1986). Pigmen
pendarfluor hijau-kekuningan larut dalam air, dikeluarkan oleh kebanyakan
spesies Pseudomonas. Diantara spesies yang banyak diteliti sehubungan dengan
pigmen ini adalah P. airuginosa, P. ovalis, P. mildenbergil, P. reptilivora, P.
geniculata, P. calciprecipitans. Pengenalan terhadap pigmen ini tidak susah,
terutama jika bakteri dikulturkan pada medium King's B (KB). Ciri-ciri sebagai
pengeluar pigmen ini masih digunakan sebagai penanda taksonomi untuk
identifikasi bakteri ini yang disebut sebagai bakteri Pseudomonas pendarfluor
(Meyer et al. 1987).
Pseudobaktin akan dihasilkan
Pseudononas B 10 jika dikulturkan pada medium stress besi. Penelitian
menunjukkan bahwa pseudobactin hijau-kekuningan efektif menekan pertumbuhan E.
carotovora, manakala pseudobactin merah-kecoklatan tidak menekan pertumbuhan E.
carotovora. Menurut Kloepper et al. (1980) secara in vitro, pseudobactin
menekan pertumbuhan karena pengikatan besi (III). Perlakuan tumbuhan umbi
kentang dengan suspensi sel bekteri strain B 10 clan pseudoboktin menunjukkan
pertambahan pertumbuhan yang berarti. Populasi jamur patogen parle sekitar akar
juga menjadi berkurang karena perlakuan bakteri strain B 10 (2.3 unit
pembentukan koloni (cfu) per 10 cm akar; atou berkurang 59 persen) dan dengan
pcrlakuan pseudobaktin (1.4 cfu per 10 cm akar; atau berkurang 74 persen)
berbanding perlakuan dengan air (5.5 cfu per 10 cm akar), sedangkan perlakuan
bakteri mutan takberpendarfluor yang tidak menghasilkan siderofor tidak menekan
pertumbuhan E. carotovora dan tidak pula menyebabkan pertambahan pertumbuhan
pada umbi kentang walaupun bakteri mengkoloni akar tumbuhan (Kloepper et al.
1980). Hasil di atas menunjukkan bahwa pseudomonad pendarfluor berperan dalam
mempercepat pertumbuhan karena siderofor yang dihasilkannya efisien mengikat
besi (III) pada zon akar, menyebabkan besi (III) tidak tersedia bagi
mikroorganisme rhizoplane termasuk mikroorganisme patogen tumbuhan (Leong
1986).
Menurut Neilands dan Leong (1986)
mungkin semua pseudomonad pendarfluor dapat menghasilkan siderofor sejenis
pseudobaktin yang masing-masing berbeda dalam hal jumlah dan susunan asam amino
dalam rantai peptide. Pseudomonad pendarfluor banyak diteliti sehubungan dengan
kemampuan bakteri ini sebagai perangsang pertumbuhan (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria=PGPR) dan menekan serangan penyakit yang disebabkan Fusarium
oxysporum dan penyakit akar yang disebabkan Gaeumannomyces graminis. Mekanisme
kerja PGPR diketahui sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pemasok zat
makanan, bersifat antibiosis, atau sebagai hormon pertumbuhan, atau
penggabungan dari berbagai cara tersebut. Pseudomonad pendarfluor yang
diisolasi dari tanah yang secara alami menekan pertumbuhan Fusarium juga
menekan pertumbuhan Gaeumannomyces graminis var. tritici penyebab penyakit
take-all (Wong & Baker 1984), penelitiannya membuktikan bahwa tidak
hubungan antara hambatan antibiosis yang dihasilkan bakteri secara in vitro di
atas agar dan hambatannya terhadap penyakit pada tanaman di dalam polibag.
Menurut Wong dan Baker (1984) hasil
ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian patogen karena persaingan zat
besi. Menurut Neilands dan Leong (1986) jamur-jamur patogen tidak menunjukkan
kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama dengan yang dihasilkan bakteri
Pseudomonas spp. sehingga jamur patogen mengalami defisit unsur besi
menyebabkan pertumbuhan patogen menjadi terhambat.
VI. POTENSI RHIZOBAKTERIA SEBAGAI
AGEN HAYATI UNTUK BIOKONTROL JAMUR Fusarium sp.
Pengendalian hayati khususnya pada
penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih
dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika
pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah,
tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai
pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun. Perhatian pakar
penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit kembali ketika
diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun
1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian hayati
akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang
(Hasanudin, 2003).
Menurut Istikorini (2002), mekanisme
pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya :
- Antagonisme, Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh
- merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya. Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan.
- ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas, Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
- Proteksi silang, Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Biasanya mekanisme antagonisme dan ketahanan berimbas terjadi secara simultan, sehingga rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen secara langsung dan tidak langsung (Paul, 2007). Beberapa studi in vitro terkait mekanisme biofungisida melalui antagonisme telah banyak dilakukan. Menurut Haas and Devago (2005), Pseudomonas fluorescens dapat mengeluarkan senyawa antibiotik (antifungal), siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas jamur Fusarium oxysporum. Senyawa siderofor, seperti pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion Fe. Senyawa ini menghelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang.
Sementara senyawa antibiotik yang
dihasilkan antara lain :
phenazine-1-carboxylate,
pyoluteorin, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol,
phenazine-1-carboxyamide, pyocyanine, hidrogen cyanide dan viscosinamide (Haas,
2005; Adesina, 2007).
Seperti yang telah disebutkan di
awal menurut Tilak et al. (2005) dan Botelho et al.(2006) , terdapat beberapa
rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki aktivitas antifungal.
Hasil-hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai
antifungal melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti
Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium
dan Bacillus pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan
pertumbuhan jamur Fusarium sp (El-Hamshary and Khattab, 2008:24; Huang et al.,
2004:82).
Bakteri dari genus Bacillus
dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptida yang berperan sebagai antibiotik
dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin,
Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan
bacilysocin (Katz and Demain, 1977:450; Tamehiro et al., 2002:315; Schaechter,
2004:127; Berkeley et al., 2002:227). Sintesis antibiotik pada Bacillus
dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan kondisi
lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004:128). Bakteri ini mampu menghasilkan
enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel jamur,
seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada
medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase dan
protease (Kunst and Rapoport, 1995:2403; Schaechter, 2004:127). Dinding sel
Fusarium sp tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan 6% lemak
(Webster and Weber, 2007:5). Kandungan kitin pada dinding sel jamur Fusarium sp
ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.
VII. PENGEMBANGAN AGEN HAYATI
SEBAGAI BIOFUNGISIDA JAMUR Fusarium sp. di INDONESIA
Memasuki pasar global, persyaratan
produk- produk pertanian ramahlingkungan akan menjadi primadona. Persyaratan
kualitas produk pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya dengan pemakaian
pestisida sintetik. Pemanfaatan agen hayati sebagai biopestisida pengganti
pestisida sintetik belum banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan agen
hayati sebagai pengendali fungi fitopatogen telah dilakukan di beberapa provinsi,
seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah misalnya, melakukan
upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian khususnya kentang
dengan pemanfaatan agen hayati (biopestisida) sebagai pengganti pestisida
sintetik untuk mengedalikan fungi Phytopthora infestans. Jamur ini dapat
menyababkan Penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang merupakan penyakit
penting dan endemik di sentra-sentra pertanaman kentang di Provinsi Jawa Tengah
(Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Banjarnegara, dan Magelang).
Balai Perlindungan Tanaman Pangan
dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengembangkan prototipe
produk beberapa biofungisida yang ramah lingkungan, yaitu biofungisida
trichodermin dan gliocladin yang bahan bakunya terdiri dari bahan aktif dari
makhluk hidup berupa konidia beberapa jenis jamur isolat lokal (indigenous).
Beberapa jenis jamur isolat lokal yang telah berhasil dikemas dan diaplikasikan
sebagai bahan baku biofungisida tersebut adalah Trichoderma harzianum,
Gliocladium sp dan Aspergillus niger (Purwantisari, 2008). Menurut data dari
Balai Penelitian Tanaman Hias yang berada di Cianjur-Jawa Barat tahun 2004,
rhizobakteria yang telah dikembangkan sebagai biofungisida di Jawa Barat
khususnya antara lain: Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa, Bacillus
thuringiensis, Bacillus Pantotkenticus, Burkholderia cepacia dan Pseudomonas
fluorescens. Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat
pertumbuhan fitopatogen Fusarium sp. di Indonesia sendiri masih belum optimal.
Penggunaan rhizobakteria yang
dilakukan baru sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini
sangat disayangkan, mengingat penggunaan rhizobakteria sebagai biofungisida
dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam mengendalikan
fitopatogen.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi I, R,. 2007. Bakteri pelarut
fosfat (bpf). Fakultas pertanian universitas padjadjaran.
Jatinangoro
Aries pratomo, Sp, MSc. 2008.
Perinsip pengendalian hayati.
Supriadi.2003. Analisis risiko agens
hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Balai penelitian tanaman rempah
dan obat (bptro): bogor.
Balai Penelitian Tanaman
Hias.(2004).Mikroba Antagonis Sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Tanaman.
BPTH: Cianjur.
Hasanudin. (2003). Peningkatan
Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara
Terpadu. (Online). Tersedia :
http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf
[Diakses tanggal 19 Mei 2010]
Sukorini. H. 2006. Pengaruh Mikroba
antagonis terhadap penyakit-penyakit utama tanaman Apel Manalagi. Laporan
penelitian. UMM
Juanda, i, f,. 2004. Potensi
rhizobakteria sebagai agen biofungisida untuk Pengendalian jamur fitopatogen
fusarium. Universitas pendidikan indonesia (upi). Bandung. Jawa barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentarnya Disini...................