Kamis, 14 Juni 2012

VARIETAS PADI UNGGUL


Varietas Padi Yang Unggul



Dikembangkan
Oleh Alina Mustaidah
      JAKARTA - Pemerintah mengandalkan tiga varietas padi unggul untuk mengantisipasi penurunan produksi beras akibat perubahan iklim dan serangan hama yang diramaikan terjadi tahun ini. Ketiga padi unggul itu saat ini dalam tahap uji coba di Balai Benih Sukamandi, Subang, Jawa Barat
          Tiga varietas padi itu adalah Inpara (1-4) yang cocok untuk lahan dengan genangan air banyak, Inpago (1-6) untuk lahan dengan pasokan air sedikit, dan Inpari 13 untuk varietas yang tahan wereng. "Varietas tersebut saat ini dalam proses pertanyakan. Dua hingga tiga musim ke depan sudah bisa ditanam secara luas," ujar Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Dadih Permana kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (4/1).
         Dadih menjelaskan, varietas padi Inpara memiliki produktivitas 7-8 ton per hektare (ha) atau lebih tinggi ketimbang varietas biasa yang hanya 2,8-3,2 ton per ha. Untuk varietas Inpago dan Inpari 13, tingkat produktivitasnya hampir sama, berkisar 7-8 ton per ha. "Selain itu, ada varietas lokal yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan agroekosistem tertentu, seperti Situ Bagendit, Situ Patenggang, dan padi rawa di Jambi," kata dia.
    Berdasarkan ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), iklim tahun ini diperkirakan mengarah ke normal. Meski demikian, Kementan tetap menyiapkan tiga skenario untuk musim kering, basah, dan serangan hama.
       Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menyatakan, intensifikasi pangan dengan menggunakan varietas padi tahan terhadap perubahan iklim dan hama wereng menjadi langkah pertama untuk menggenjot produksi gabah yang tahun ini ditargetkan 68,8 juta ton atau 39 juta ton setara beras. Langkah kedua adalah mencetak sawah baru seluas 70 ribu ha. "Ini untuk mengimbangi ancaman konversi lahan," ucap dia.
        Ketiga, membangun 5.200 embung guna menampung air hujan. Sebab, BMKG meramalkan curah hujan tinggi hanya berlangsung hingga Maret 2011. "Artinya, mulai April 2011 curah hujan menurun. Kami rencanakan setiap kecamatan di seluruh Indonesia akan memiliki satu embung," tutur Suswono.
Langkah keempat adalah menyiapkan tim siaga hama dengan melibatkan anggota TNI dan petugas penyuluh pertanian.
        Keempat langkah itu untuk menggenjot produksi maupun mengamankan stok beras selama 2011. "Kami berharap kalau produksi beras sudah sesuai target, tahun ini tidak ada impor lagi," kata Suswono.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Rahmat Pambudy menyambut positif upaya pemerintah meluncurkan varietas padi unggul yang tahan perubahan iklim dan hama. "Varietas padi unggul tersebut memiliki kualitas yang lebih baik ketimbang varietas-varietas padi unggul yang ada sebelumnya. Ketiga varietas tersebut adalah inovasi Kementan," kata Rahmat.
        Dia berharap pemerintah segera mendistribusikan bibit padi unggul tersebut ke petani, sehingga produksi padi tahun ini tidak terganggu perubahan iklim. "Varietas tahan cuaca tersebut sangat mendesak mengingat tantangan ke depan adalah anomali iklim," ujar Rahmat.
         Luas Panen
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total luas sawah di Indonesia 7,7 juta ha. Rinciannya, luas sawah irigasi teknis 2,2 juta ha, sawah irigasi semi teknis 988 ribu ha, dan sawah irigasi sederhana 1,5 juta ha. Sedangkan luas sawah dan tanah pertanian lainnya, yaitu sawah tadah hujan 2 juta ha, sawah rawa pasang surut 615,2 ribu ha, dan sawah rawa lebak 333 ribu ha.
        Menurut Winarno, luas panen padi 2009 mencapai 12,8 juta ha, sedangkan jumlah penduduk Idnonesia mencapai 237 juta ha orang, sehingga luas panen per kapita per tahun adalah 542 meter persegi dengan produktivitas 276 kilogram gabah kering giling (GKG).
"Jika dijadikan beras dengan ren-demen 63,2% setara dengan 173 kg beras. Selisihnya masih sangat minim hanya 33 kg beras per kapita per orang per tahun," papar dia.
Luas tanam padi pada 2010 mencapai 13,45 juta ha dan luas panen padi 13,08 juta ha. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia 237 juta orang, sehingga luas panen/kapita/tahun adalah 552 meter persegi dengan produktivitas 5,132 ton/ha GKG hanya bisa berproduksi 283 kg GKG. Bila dijadikan beras dengan rendemen 63,2% setara dengan 178,85 kg beras.
"Sedangkan konsumsi per kapita per tahun 139,15 kg, sehingga selisihnya masih sangat minim atau hanya 39,70 kg beras/orang/tahun," ujar Winarno.
Menurut dia, luas panen per kapita di Indonesia kalah dibanding Vietnam yang mencapai dua kali lipat lebih besar dan Thailand tiga kali lipat, sehingga kedua negara tersebut bisaekspor beras. "Indonesia jika ingin ekspor beras luas panen per kapitanya paling tidak 1,5 kali lipat sekarang, yaitu 813 meter atau mempunyai luas panen 19,2 juta ha," tutur dia.
          Jika tidak ada penambahan lahan pertanian tanaman pangan khususnya beras, kata Winarno, Indonesia tidak sampai 2030 akan kekurangan pangan karena jumlah penduduk naik 1,4% tiap tahun dan alih fungsi lahan mencaopai HO ribu ha per tahun.
Harga Harus bagus
Rahmat Pambudy mengatakan, untuk meraih target produksi GKG 68,8 juta ton tahun ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah mencetak sawah baru dan harga beras harus bagus. "Ini untuk merangsang petani agar mau meningkatkan produktivitas tanamannya," kata dia.
Menurut Rahmat, untuk mendapatkharga beras yang bagus, pemerintah bisa membandingkan dengan harga di luar negeri, kecuali Jepang karena mendapat subsidi sangat besar dari pemerintahnya. "Di Hanoi dan Ho Ci Minh, Vietnam, harga beras medium setara IR 64 mencapai Rp 10.250 per kg. Harga beras di Thailand juga hampir sama," tutur dia.

          Rahmat menjelaskan, harga beras di Indonesia bisa mempengaruhi inflasi karena pendapatan rakyatnya rendah. Tidak heran jika pemerintah terus berusaha menurunkan harga beras. Tugas pemerintah seharusnya bukan menurunkan harga tetapi menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak, sehingga pendapatan masyarakat meningkat," tutur dia.  Dia menambahkan, harga beras yang terus murah menyebabkan petani tidak menikmati keuntungan. "Indonesia itu hampir sama seperti Vietnam. Masak kita kalah," ujar Rahmat

Mengenai keputusan pemerintah untuk impor beras, kata Rahmat, jus-Itru tidak bermanfaat. Sebab, impor 1,5 juta ton sama dengan menghilangkan kesempatan kerja bagi 5 juta orang di dalam negeri.
"Harga beras murah adalah warisan penjajah karena saat itu mereka berupaya menekan harga jual agar harga ekspor komoditas kompetitif. Sebab, importirnya adalah perusahaan yang dimiliki penjajah. Berpikir harga pangan murah itu kuno," ujar dia.
       Mengenai produksi beras dunia tahun ini, Rahmat memprediksi kondisinya masih terganggu. Tapi itu justru bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk ekspor beras.
Menurut dia, target produksi gabah kering giling pemerintah 2011 sebesar 68,8 juta ton atau setara beras sekitar 39 juta ton cukup baik. "Jika tercapai, kita berpeluang ekspor beras 5 juta ton karena konsumsi diprediksi 34 juta ton. Kita bisa mendapatkan harga ekspor yang cukup baik karena harga pangan dunia sedang tinggi," kata Rahmat, (na) i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentarnya Disini...................

KEGIATAN