Hama Tanaman Hortikultur
Oleh : Profesor dr. kasumbogo Untung
MANAJEMEN RESISTENSI PESTISIDA SEBAGAI
PENERAPAN PENGELOLAAN HAMA TERPADU
Pendahuluan
Berkembangnya resistensi berbagai jenis hama, penyakit dan gulma terhadap pestisida pada 50 tahun akhir ini merupakan masalah yang paling serius yang kita hadapi sejak digunakannya secara luas pestisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir Perang Dunia II. Resistensi hama terhadap pestisida merupakan fenomena global yang dirasakan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) terutama petani di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Secara ekonomi dan sosial dampak resistensi terhadap pestisida sangat besar bagi para pengguna akhir pestisida terutama petani, industri penghasil pestisida, pemerintah dan masyarakat. Petani harus mengeluarkan lebih banyak biaya pengendalian karena mereka terpaksa mengaplikasikan pestisida lebih sering dengan dosis yang lebih tinggi atau membeli pestisida baru yang harganya lebih mahal. Pemerintah menderita kerugian karena sasaran produktivitas pertanian dan keamanan pangan tidak tercapai. Industri pestisida merugi karena penjualan berkurang, masa “hidup� pestisida di pasar semakin pendek, dan biaya investasi untuk pengembangan senyawa-senyawa baru belum terbayar kembali. Masyarakat merasakan dampaknya karena penurunan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, peningkatan harga produk pertanian, serta peningkatan risiko bahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun. Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.
Makalah ini mencoba untuk membahas secara umum resistensi pestisida sebagai fenomena ekologi, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, faktor-faktor pendorong resistensi serta kebijakan dan strategi pengelolaan resistensi pestisida sebagai bagian implementasi Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang telah menjadi kebijakan nasional perlindungan tanaman.
Dampak Resistensi Pestisida
Meskipun resistensi hama terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun 1910an, namun kasus ini meningkat sekali sejak ditemukannya insektisida organik sintetik. DDT sebagai insektisida organik sintetik pertama ditemukan dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. Pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Pada tahun 1986 dilaporkan 447 jenis serangga yang resisten terhadap hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat, karbamat, piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt (Georgiiou,1986). Jenis resistensi hama terhadap pestisida dapat berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross resistance). Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada serangga-serangga pertanian, tetapi juga pada semua kelompok serangga termasuk serangga rumah tangga dan kesehatan masyarakat.
Resistensi pada penyakit tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940an, namun kasus resistensi penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi fungisida sistemik sekitar tahun 1960an. Resistensi gulma terhadap herbisida baru diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini banyak spesies gulma yang resisten terhadap berbagai kelompok dan jenis herbisida, seiring dengan peningkatan penggunaan herbisida (Georgiou, 1986).
Para petani di Indonesia umumnya masih cenderung enggan mengambil risiko. Meskipun PHT sudah menjadi kebijakan pemerintah, namun banyak petani masih mempercayakan pada penyemprotan pestisida secara asuransi. Tanggapan pertama petani terhadap pestisida yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Bila hal ini tak berhasil mereka akan menggunakan jenis pestisida yang lebih baru, lebih mahal dan mereka harapkan lebih manjur daripada jenis pestisida yang digunakan sebelumnya. Pergeseran petani dari penggunaan pestisida baru tanpa adanya perubahan mendasar dalam filosofi dan strategi pengendalian hama dengan pestisida, merupakan solusi sementara yang akan menimbulkan masalah baru yang lebih parah yaitu terjadinya resistensi hama pada jenis pestisida yang baru. Dari data penelitian dan empirik dapat dibuktikan bahwa populasi hama yang sudah resisten terhadap satu atau lebih jenis pestisida biasanya dapat mengembangkan sifat resistensi terhadap senyawa lain secara lebih cepat, khususnya bila senyawa baru ini mempunyai mekanisme resistensi yang sama atau berdekatan dengan senyawa-senyawa sebelumnya. Sebagian besar hama mampu mempertahankan dan mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.
Akibat peningkatan dosis dan frekuensi aplikasi pestisida percepatan pengembangan resistensi pestisida sangat meningkatkan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan petani dan para pengguna pestisida lainnya. Di Amerika Serikat telah dilakukan perkiraan peningkatan biaya pengendalian akibat resistensi pestisida, dan diperoleh angka sekitar 133 juta US$. Di tingkat global pada tahun 1980 (kecuali Rusia dan Cina) diduga tambahan biaya pengendalian dengan pestisida akibat resistensi adalah sekitar satu milyard US $. Kalau peningkatan biaya tersebut ditambahkan pada biaya investasi untuk memperoleh jenis pestisida baru yang besarnya sekitar 100 juta US$ per satu jenis pestisida baru, sangat sulit bagi perusahaan pestisida untuk dapat memperoleh keuntungan. Tidak mengherankan bahwa laju penemuan pestisida baru saat ini sangat lambat (Georgiou, 1986).
Di samping ketakutan akan fenomena resistensi pestisida, beberapa penyebab berkurangnya penemuan pestisida baru adalah; 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan pestisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi pestisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen pestisida. Ada kemungkinan kecenderungan bergabungnya perusahaan-perusahaan pestisida multinasional akhir-akhir ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Proses terjadinya resistensi
Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.
Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena adanya seleksi yang terus- menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten. Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.
Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individu-individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi individu-individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.
Mekanisme resistensi
Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida.
Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga. Mekanisme resistensi penyakit terhadap fungisida dan resistensi gulma terhadap herbisida pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme resistensi hama terhadap insektisida.
Strategi Pengelolaan Resistensi Pestisida
Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut Georghiou dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu dengan 1) sikap sedang (moderation), 2) penjenuhan ( saturation ) dan 3) serangan ganda ( multiple attack). Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi terhadap hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang lebih jarang. Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun genetik. Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai cara kerja atau mode of action yang berbeda. Adanya refugia merupakan mekanisme untuk menghambat pengembangan sifat resistensi pada populasi karena di refugia merupakan sumber individu imigran yang masih memiliki sifat peka terhadap pestisida (Georgiou dan Taylor, 1986).
Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan frekuensi genotipe resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten terhadap pestisida.
Pengelolaan Resistensi Pestisida dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Resistensi pestisida suatu fenomena alam yang sangat kuat dan masalah yang diakibatkannya semakin berlarut dan merugikan. Pengembangan keparahan masalah resistensi dikendalikan sepenuhnya oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan kurang perhatian semua pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke terjadinya eksplosi hama yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan program perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.
Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh stakeholders secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan pelatihan pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga dapat memperlambat terjadinya populasi resisten. Petani terutama petani hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan dan mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan resistensi pestisida.
Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan mendukung prinsip dan strategi PHT. Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi teknik pengendalian dengan pestisida dan pengendalian tanpa pestisida sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-individu resisten dalam populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat dikelola dan secara ekonomis layak. Penggunaan pestisida agar dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan hasil monitoring dan analisis data populasi hama dan musuh alaminya. Semakin kecil paparan populasi hama terhadap pestisida kimia tertentu diharapkan dapat memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT akan mengurangi tekanan seleksi terhadap organisme perusak tanaman serta dapat memperlambat atau menunda pengembangan populasi resisten yang merugikan semua pihak.
Deteksi dan Monitoring Resitensi
Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini mungkin. Apabila kegagalan pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi karena berkembangnya populasi resisten, mungkin tingkat resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit untuk diturunkan kembali sampai ke tingkat yang rendah. Karena itu perlu dikembangkan metode pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat sehingga adanya perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat diketahui lebih awal. Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang standar akan menunjang kegiatan monitoring yang terprogram. Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat keparahan resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan mengenai lebar atau panjang “jendela waktu� yaitu sejak resistensi terdeteksi sampai ke tingkat keparahan resistensi yang tidak dapat dikelola lagi tersebut. Untuk mendukung program ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi, biokimia dan genetika molekuler diharapkan mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode deteksi tersebut.
Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan metode deteksi yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah terjadinya resistensi di populasi hama. Metode deteksi dan monitoring resistensi yang sudah lama digunakan adalah dengan teknik bioassay. Pengujian biokimia untuk mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga terkait dengan mekanisme resistensi pada organisme yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun metode biokimia menuntut lebih banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih mahal daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar bioteknologi juga sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen resisten.
Rekomendasi Kegiatan Penelitian Resistensi Pestisida
Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi dari kegiatan penelitian dasar dan terapan yang direkomendasikan oleh Komisi Strategi Manajemen Populasi Hama yang Resisten Pestisida pada Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1984 (NRC, 1986).
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak dalam biokimia, fisiologi dan genetika molekuler tentang mekanisme resistensi pada berbagai kisaran spesies hama. Biologi molekuler termasuk teknologi rekombinan DNA, sangat menolong dalam melakukan isolasi dan karakterisasi mekanisme resistensi yang spesifik.
2. Penemuan dan eksploitasi “target site� baru untuk pestisida baru seharusnya merupakan fokus penelitian, bersamaan dengan usaha awal penelitian yang menggabungkan kemampuan riset tradisional dengan bioteknologi baru.
3. Metode standar untuk mendeteksi dan monitor resistensi hama-hama utama perlu dikembangkan, divalidasi dan selanjutnya diaplikasikan lebih luas di lapangan.
4. Konsep dan wawasan yang berasal dari penelitian biologi populasi dalam resistensi pestisida harus digunakan lebih efektif untuk mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi strategi dan taktik pengelolaan resistensi.
5. Pengembangan dan pengujian suatu sistem untuk pendugaan atau penaksiran risiko resistensi perlu dipercepat.
6. Peningkatan tekanan penelitian dan pengembangan harus diarahkan pada evaluasi di laboratorium dan lapangan mengenai taktik-taktik untuk mencegah atau menghambat pengembangan resistensi.
7. Usaha-usaha harus diperluas untuk mengembangkan sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Langkah-langkah perlu diambil untuk mendorong penerapan PHT sebagai ciri utama dari semua program pengelolaan resistensi.
8. Kegiatan penelitian yang kritis adalah dalam menetapkan aras toleransi suatu populasi terhadap pestisida, dan kebugaran relatif dari bagian populasi hama yang resisten dibandingkan dengan bagian populasi hama yang peka.
Program Pengelolaan Resistensi Pestisida di Indonesia
a. Data tentang Resistensi Pestisida
Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak “manjur�nya jenis-jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh para petani atau petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian resistensi pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama tertentu seperti hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak peneliti di Indonesia yang bekerja menekuni masalah resistensi pestisida secara mendalam. Pada tingkat nasional maupun daerah, Indonesia belum memiliki rencana strategik kegiatan penelitian tentang pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan resistensi pestisida pada khususnya.
Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap malathion 34,5 kali, diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia hama tersebut telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali (Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi terhadap insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC terhadap wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali (Putra et al.,2002).
Hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella) yang menyerang kubis termasuk salah satu hama yang cepat menunjukkan sifat ketahanan terhadap berbagai kelas pestisida kimia dan juga pestisida biologi seperti Bt. Laporan pertama mengenai resistensi hama Plutella di Indonesia adalah terhadap DDT pada tahun 1951 di Lembang dan Batu dengan peningkatan 9 kali (Vos,1951;1952 cit Oka dan Sukardi, 1981). Tjoa (1959, cit Oka dan Sukardi,1981) melaporkan bahwa Plutella sudah resisten terhadap HCH, Toxaphene, Aldrin, Dieldrin dan Endrin, hanya dalam kurun waktu 14 tahun setelah pestisida tersebut digunakan. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa populasi Plutella dari Kopeng resisten terhadap deltametrin dengan tingkat resistensi 469 kali dibanding populasi dari Cepogo yang masih peka ( Nuryanti dan Trisyono, 2002 ). Plutella resisten terhadap deltametrin diturunkan secara monogenik, bersifat resesif dan ada maternal effect (Listyaningrum et al., 2003). Plutella xylostella strain Lembang, Pengalengan, Berastagi sangat resisten terhadap Bt var kurstaki dan strain HD-7 (Sastrosiswojo et.al. 2003). Peluang peningkatan faktor resistensi hama Plutella di Indonesia sangat besar karena di pusat daerah sayuran seperti Lembang, Dieng, dan Batu tanaman kubis ditanam sepanjang tahun dan penggunaan pestisida sangat intensif dan terus menerus.
b. Data kerugian ekonomi akibat resistensi pestisida
Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap pestisida tertentu, namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa besar kerugian ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna pestisida, pemerintah dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida. Demikian juga kita belum pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang kita derita akibat fenomena resistensi pestisida. Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa besar dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida, kita belum memiliki data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat resistensi berbagai jenis pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui apakah ratusan formulasi pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih efektif dan efisien dalam mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini perlu mengetahui di daerah mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah mana masih didominansi individu-individu peka.
c. Kebijakan pendaftaran pestisida terkait resistensi pestisida
Dilihat dari tataran kebijakan nasional kita, belum memiliki kebijakan dan strategi khusus mengenai pengelolaan resistensi pestisida yang komprehensif dan terpadu. Umumnya penjelasan, anjuran, rekomendasi dan pelatihan dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari pemerintah maupun oleh petugas lapangan perusahaan pestisida tentang aplikasi pestisida yang tepat guna (tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat) secara tidak langsung bertujuan untuk memperlambat muncul dan berkembangnya populasi hama resisten pestisida.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan perundang-undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh petani secara individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus resistensi pestisida pada beberapa komoditas penting.
Keputusan Menteri Pertanian 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida belum mempunyai pasal-pasal khusus yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fenomena resistensi pestisida. Pasal 15 Kepmen tersebut yang mengijinkan formulasi pestisida berbahan aktif majemuk diharapkan dapat mengurangi risiko timbul dan berkembangnya populasi resisten dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan pada Surat Keputusan Ketua Komisi Pestisida.
d. Urgensi dan relevansi Kebijakan Pengelolaan Resistensi Pestisida
Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi pestisida secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap jenis-jenis pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut antara lain:
1. Petani sebagian besar masih sangat menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik dalam usaha pengendalian hama. Mereka masih mengikuti paradigma perlindungan tanaman konvensional, preventif dan prinsip asuransi yang cenderung berlebihan. Praktek pengendalian hama ini terjadi terutama pada komoditas rawan hama dan penyakit seperti kelompok tanaman hortikultura dan perkebunan tertentu.
2. Peningkatan jumlah dan volume jenis-jenis pestisida di Indonesia pada beberapa tahun terakhir.
3. Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik yang berarti banyak jenis pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari sekian banyak insektisida yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung meningkat baik untuk bidang pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan. Insektisida sintetik piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur manfaat yang pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.
4. Semakin sedikitnya jenis-jenis pestisida baru dengan cara kerja baru yang ditemukan didaftarkan dan diedarkan. Jumlah pestisida biologi dan pestisida nabati yang didaftarkan dan diijinkan masih sangat sedikit, kurang dari 5% dari jumlah formulasi pestisida yang telah diijinkan di Indonesia.
5. Data dan peta tentang tingkat keparahan resistensi berbagai jenis hama utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita miliki, karena kurangnya kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor resistensi pestisida.
Kesimpulan dan Saran
1. Di Indonesia fenomena resistensi hama terhadap pestisida sudah merupakan masalah kronis yang telah lama kita hadapi sejak kita menggunakan pestisida, namun belum pernah dilakukan evaluasi dan pendugaan mengenai kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh fenomena tersebut.Â
2. Indonesia belum mempunyai kebijakan dan strategi khusus untuk menanggulangi dan menghambat perkembangan populasi hama resisten karena belum memiliki kegiatan penelitian yang komprehensif, dapat dipercaya dan memadai.
3. Resistensi pestisida seharusnya merupakan perhatian dan keprihatinan semua stakeholders (pemangku kepentingan) termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, produsen dan distributor pestisida, peneliti, akademisi, petani secara individu dan berkelompok dan masyarakat pada umumnya.Â
4. Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan kebijakan khusus tentang Manajemen Resistensi Pestisida dengan melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas disiplin yang bertujuan menghambat, menunda atau menghentikan perkembangan populasi hama resisten.Â
5. Pengembangan dan penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan Vektor Penyakit Manusia secara Terpadu perlu ditingkatkan dan diperluas, melalui kegiatan pemberdayaan petani dan masyarakat dalam menggunakan pestisida secara selektif dan hemat.Â
Moga bermanfaat..
sumber :Sariatul Adawiyah
diliris kembali oleh